Sabtu, 02 April 2011

SAATNYA BADUY BICARA

embaca buku “Saatnya Baduy Bicara” yang baru saja diluncurkan bulan ini, Oktober 2010, saya mendapat kesan yang luar biasa tentang  paradigma ‘berpikir’ para pemimpin, yang lebih di kenal dengan sebutan Jaro dan pemimpin puncaknya ‘Puun.’ Pak Asep Kurnia, penulis buku ini, sanggup dengan bahasa yang mengalir, enak dibaca, menyuguhkan bagaimana ’strategi budaya’ para pemimpin Baduy dalam menghadapi dinamika perubahan sosial baik di luar, ataupun di dalam masyarakat Baduy itu sendiri. Banyak sekali percakapan-percakapan dipaparkan dalam bahasa aslinya (Sunda.) Dengan demikian, bagi pembaca lokal yang memahami bahasa ‘ibu’ Sunda dialek Banten, paparan ini lebih membantu memahami ’situasi batin’ kegelisahan para Jaro.  Meskipun, barangkali teks bahasanya sudah mengalami pengeditan oleh Pak Asep Kurnia sendiri, sehingga bercampur dengan dialek ‘Sukabumi‘ atau bahasa Sundanya lebih ‘nyakola.’ (Pak Asep, asli Sukabumi yang sudah puluhan tahun  berada dilingkungan Baduy, sebagai guru di Leuwidamar, kecamatan tempat Baduy berada, Kabupaten Lebak Banten.)
Paradigma seperti apa? Masyarakat Baduy menyambut perubahan jaman dengan mempersilahkan warganya memperoleh pendidikan. Inilah catatan yang luar biasa. Meski dalam buku itu disebutkan angka 90% anak-anak Baduy tidak mengikuti sekolah formal, telah banyak usaha-usaha yang dilalukan warga Baduy yang dimotori oleh ‘pejuang-pejuang’ Baduy dari luar Baduy, agar mereka bisa membaca. Ijin sekolah inipun tentunya dengan catatan, selama tidak melanggar aturan adat. Nah, ini dia, yang menjadi peer para stakeholder Banten untuk menemukan metoda yang tepat dalam mendekati ‘Baduy.’ Penulis buku ini sangat yakin bahwa masyarakat Baduy juga ‘berkeinginan’ bisa seperti saudara-saudara mereka yang lainya, bisa membaca. Pak Asep seperti membukakan pintu, silahkan masuk dan jangan lupa anda sedang bertamu di rumah orang, ikuti tata-krama di rumah ini. Bisa jadi sekolah di Baduy tidaklah sama dengan sekolah di Leuwidamar (luar Baduy,) namun mereka mendapatkan pengetahuan yang perlu bagi kehidupan masyarakatnya dengan tanpa ‘melanggar’ adat.
Saya tidak bermaksud sedang meresensi buku ‘Saatnya Baduy Bicara’ ini, namun ingin mengabarkan pula kepada khalayak karena kegembiraan saya menyambut karya tentang Baduy. Buku setebal 294 halaman ini menambah khasanah literatur tentang Baduy. Baduy memang seperti gadis cantik pemalu, yang mengurung diri di kamar. Sehingga banyaklah yang datang untuk ‘memuaskan’ rasa penasaran, secantik apakah gerangan gadis ini, siapakah dia?
Inti jagat memang penuh misteri sejak dahulu dan akan tetap menjadi misteri. Mengapa kita bertanya dan mempermasalahkan siapa, darimana orang Baduy itu? Lihatlah, dengan kesahajaannya para pemimpin Baduy sudah membuktikan selama berabad-abad, sejak sebelum kerajaan Salakanagara, melewati Pajajaran, Tarumanagara, Kesultanan Banten, Kolonial Belanda dan saat ini di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indoneisa, bahwa dengan ‘Pikukuh’ mereka sanggup membawa rakyatnya melayari sejarah tanpa konflik yang vulgar, tanpa kekerasan, apalagi pembunuhan, penghilangan nyawa, dan tentu saja tanpa korupsi. Bapak Imam Prasojo selayaknya memberi saran kepada para wakil rakyat di Senanyan, agar mereka tak perlu jauh-jauh belajar etika ke Yunani. Mampirlah di Baduy, Desa Kanekes, Banten, Indonesia.
Kembali ke buku kita ‘Saatnya Baduy Bicara.’ Maka mari, inipun adalah ‘Saatnya Bicara Baduy.’ Tanpa Kitab Agama, kita disuguhi pelajaran hidup tentang bagaimana manusia belajar dalam harmoni dengan alam dan sesamanya. Membaca buku ini, seperti pergi Saba Budaya Baduy, tapi sebelumnya kita mampir dulu ke kantor gubernur, kantor bupati dan kantor Kecamatan disuguhi data-data, angka-angka tentang jumlah posyandu, angka melek huruf, demografi penduduk dan data statistik lainya. Data ini up-to-date dan tentunya sangat bermanfaat sekali, terutama bagi mahasiswa sosiologi atau kependudukan atau pemerintahan yang tengah mencari bahan untuk skripsi. Jangan lupa, meski masyarakat Baduy ‘tidak bersekolah’ namun mereka sudah melahirkan sarjana-sarjana, S1, S2, S3 baik lokal atau pun global. Banyak disertasi doktor tentang Baduy. Dan satu lagi, Baduylah pula yang melahirkan kesarjanaan salah satu penulis buku ini, Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si (beliau Dekan FISIP Untirta Serang.) Anda percaya?

1 komentar:

  1. MOHON MASUKAN DR TEMEN TRAVEL LAIN...
    AGAR SAYA BISA MEMBUAT PAKET WISATA BADUY YG MENARIK...
    TRIM'S

    BalasHapus